26 September 2007

“Larangan Bakar LAHAN, Petani Tradisonal SENGSARA”

##SERUAN AKSI##


Sistematika Penguasaan Tanah oleh Negara... berlindung dibalik Larangan Pengelolaan Ladang Tanpa Bakar !!

Kebijakan Pemerintah Provinsi mengenai penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan, yakni Perda No5.tahun 2003, Tentang Pengendalian Hutan Dan Lahan. Mengingat Peraturan Perundangan diatasnya maka Perda No.5 tahun 2003 ini dianggap gugur karena bertentangan dengan UU No. 23 Th. 1997 Tentang Lingkungan Hidup.

Pijakan Peraturan Hukum yang dipergunakan oleh Gubernur KALTENG A. Teras Narang adalah INPRES Tanggal 14 Juni 2007, UU No. 23 Th. 1997 Tentang Lingkungan Hidup dan Maklumat KAPOLRI. Produk kebijakan ini yang menjadi dasar Intruksi Gubernur mengenai Larangan mengelola Ladang tanpa Bakar dan telah disampaikan juga dalam Diskusi Publik mengenai solusi Mengelola Ladang tanpa Bakar, kerja sama dengan CKPP (Central Kalimantan Peatland Programe) pada tanggal 28 Agustus 2007 bertempat di aula Rahan UNPAR. Pertemuan yang dihadiri langsung oleh Gubernur, Kapolda dan unsur muspida lainnya Dimana melalui pernyataan Gubernur, menekankan larangan bakar lahan, meski dalam bentuk apapun, diantaranya berladang.

Konsekwensi ataas Intrusksi Gubernur ini adalah memotong mata rantai proses perladangan dan implikasi lainnya akan lebih memiskinkan kaum tani tradisonal yang sangat bergantung pada kebutuhan padi..

Mengingat pada sejarah berladang masyarakat dayak, khususnya di Kalimantan Tengah yang pernah ditulis dan dimuat di media Kalteng Post pada tanggal 20 Oktober 2002 dengan judul “ Ladang Berpindah, Tradisi Leluhur Masyarakat Dayak”. Isi dari tulisan tersebut intinya lebih pada mengupas proses demi proses yang menghantarkan tata cara berladang berpindah atau lebih dikenal dengan sebutan “Budaya Malan”, dimana disinggung sedikit didalamnya cara membakar pada musim kemarau yang telah dihitung oleh masyarakat dayak tersebut. Kebutuhan berladang melalui tradisi yang sudah ada, lebih pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Dalam perkembangan selanjutnya tradisi tersebut hanya dimiliki dan dilakukan oleh sedikit masyarakat dan itupun lebih banyak kalangan tua, sementara yang muda kebanyakan merantau atau sekolah diluar. Artinya statment yang pernah dilontarkan oleh beberapa kalangan pemerintah maupun pihak lainnya (Perusahaan perkebunan kelapa sawit), dimana mengatakan “Peladang berpindah sebagai pelaku utama timbulnya kebakaran hutan/lahan alias sebagai kambing hitamnya”.Padahal hal tersebut sangat salah dan mesti dilihat kembali, bila dibandingkan dengan luasan perkebunan kelapa sawit yang acapkali juga melakukan pembakaran hutan/lahan diarealnya.

Himbauan yang pernah dilontarkan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Maret 2006 (Kalteng Post) judul “Prihatin “Ekspor” Asap, sangat jelas dan lebih menitik beratkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian yang berkontribusi besar timbulnya “Asap” dari pembakaran lahan. Bila dikutip himbauan beliau, yaitu “Presiden meminta pemerintah daerah bekerjasama dengan pengusaha perkebunan sawit untuk menghilangkan praktik pembakaran hutan guna pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit”.

Kalau boleh dikatakan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan bagi siapa pun yang sudah ditegaskan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, lebih terkesan diskriminasi terhadap keberlanjutan hidup petani tradisonal (masyarakat dayak). Hal ini dapat dicermati melalui sejauh mana efektifitas dan efesiensi yang tidak berimbang berkenaan kebijakan ini dilaksanakan lebih menekankan pada petani tradisonal tersebut. Secara efesiensi dapat tercapai dengan baik, yakni pengurangan dan menekan angka kebakaran hutan/lahan yang menimbulkan asap, sementara tidak efektif terhadap pemenuhan pangan bagi petani serta berdampak pada masyarakat luas di Kalimantan Tengah, misal alternatif pemenuhan kebutuhan salah satu sembako (beras). Selain itu pemberlakuan larangan bakar hutan/lahan ini juga terkesan tidak banyak menyentuh pada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Salah satunya kasus di Kabupaten Seruyan yang diketahui 2 (dua) perusahaan, yakni PT. Sarana Titian Permata dan PT. Hamparan Mas Sawit Permada (Makin Group) melakukan pembakaran hutan/lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007, sejauh ini tidak menampakkan hasil yang memuaskan. Sementara petani tradisonal melakukan pembakaran hutan/lahan demi berladang untuk pemenuhan hidup keseharian mereka, langsung di tangkap di Km. 54 Cilik Riwut. Kejadian dan proses penangkapan dilakukan di tahun yang sama dan berselang beberapa bulan saja.

Jadi sangat ironis sekali pemerintah provinsi dan didukung oleh aparat kepolisian yang berwenang serta instansi terkait lainnya di Kalimantan Tengah, memberlakukan kebijakan pelarangan bakar hutan/lahan tidak menyeimbangkan penderitaan dan kesengsaraan yang “dipaksakan” lebih pada para petani tradisional (masyarakat dayak). Sementara kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemerintah provinsi pada masyarakatnya, terutama petani tradisional yakni melindungi, memberikan kenyamanan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan mereka tidak terpenuhi dengan baik.

Dibalik itu, di JAKARTA telah dilakukan penandatangan MOU antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan POLRI, dimana jaringan advokasi tanah bagi rakyat yaitu KPA menilai beberapa bagian isi dari MOU itu adalah Mengancam dan tidak berpihak terhadap rakyat, antara lain : Pasal 5 Ayat 3: BPN menjalankan MoU ini adalah bentuk persiapan legal dalam isntitusi BPN untuk mendorong lahirnya UU Pertanahan. Sehingga, kebijakan nasional BPN sesungguhnya adalah mendorong lahirnya UU Pertanahan bukan mengimplementasikan UUPA 1960. Padahal, telah banyak dilontarkan sejumlah argumentasi bahwa carut marut dari hukum agraria kita sebenarnya disebabkan oleh tidak dijalankannya UUPA 1960 dan dijalankannya pendekatan sektoral dalam menangani sumber-sumber Agraria seperti: hutan, Tanah, pesisir-pesisir kelautan, pertambangan, tataruang, pertanian.

Turunan di daerah untuk mendukung rencana ini telah dipersiapkan dengan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Provinsi Kalimantan Tengah Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam salah satu pasalnya, yaitu Pasal 7:
  1. Pengelolaan, Pemanfaatan, Pembersihan tanah atau Lahan tidak dilakukan dengan cara pembakaran tanah atau lahan.
  2. Bagi pemilik lahan baik yang sudah memiliki status Hak Tanah atau belum (sertifikat)terhadap tanah atau lahan yang dimilikinya, jika terjadi kebakaran terhadap lahan disengaja atau tidak dianggap sudah melanggar dan mendapat sanksi serta bertanggungjawab atas kepemilikan lahan tersebut MENGACU KEMANA??
  3. Apabila ditemukan orang atau Badan Hukum tertangkap tangan dan atau patut dapat mengira terjadi mengelola, memanfaatkan, membersihkan tanah atau lahan dengan cara membalkar Tanah atau Lahan dan atau menyebabkan terjadinya kebakaran Tanah atau Lahan orang lain, maka kepada Orang atau Badan Hukum dimaksud dikenakan sanksi denda menyetor uang kepada Negara melalui Kas Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp. 5.000.000.00,- (Lima Juta Rupiah) per hektar atau kurungan penjara selama 3 (tiga) Bulan.
  4. Apabila ditemukan orang atau Badan Hukum telah dengan sengaja mengabaikan atau tidak mematuhi ketentuan Pasal 6 ayat 1 dan 2, maka kepada Orang atau Badan Hukum dimaksud dikenakan sanksi denda menyetor uang kepada Negara melalui Kas Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp. 5.000.000.00,- (Lima Juta Rupiah) per hektar atau kurungan penjara selama 3 (tiga) Bulan.


Sementara Rakyat tidak mengolah lahannya, sementara itu telah dipersiapkan Rancangan Peraturan untuk MERAMPAS lahan-lahan milik petani peladang. Jelas sekali terlihat sistematika Penguasaan Lahan oleh Negara berlindung dibalik larangan Pengelolaan Lahan tanpa bakar !!


Menyikapi persoalan ini maka disampaikan seruan kepada semua Petani Peladang dimana saja dan juga kepada NGo sebagai pembela hak masyarakat dayak serta sebagai aktivis lingkungan dan pemerintah provinsi sebagai pelaksana kebijakan pusat, diantaranya :

  1. Masyarakat dayak sebagai petani tradisional, mesti dan harus memperkuat argumentasi untuk melakukan upaya perlawanan terhadap kebijakan tersebut melalui KONSOLIDASI BASIS serta MENDOKUMENTASIKAN berbagai pengetahuan berkenaan sistem perladangan dan bersama itu pula menginventarisir aturan-aturan adat yang selama ini dipatuhi terkait pemberlakuan perladangan tradisional di wilayah masing-masing.
  2. Kawan-kawan penggiat dan aktivis lingkungan, baik dari berbagai kalangan (NGo, Akademisi, Individu), agar mulai MENDISKUSIKAN STRATEGI AKSI dan LOBBY terhadap pemerintah provinsi sampai kabupaten berkenaan upaya pembelaan terhadap masyarakat dayak/petani tradisional melalui inventarisir berbagai kebijakan serta hasil studi ilmiah dan berjaringan pada pihak-pihak luar yang dianggap strategis, dimana dapat mendukung penguatan gerakan basis terkait dengan kebijakan larangan bakar hutan/lahan di Kalimantan Tengah.

    PERSOALAN SAAT INI BUKAN SOAL BOLEH ATAU TIDAK PETANI MEMBAKAR LAHAN UNTUK BERLADANG TAPI ANCAMAN MENGENAI PENGUASAAN LAHAN OLEH PEMERINTAH!!

Tidak ada komentar: