30 Oktober 2007

Sistematika Penguasaan Tanah oleh Negara

Anse S. Erlynova

Direktur Eksekutif LAMAN

Saat polemik soal boleh tidak peladang mengelola ladangnya dengan cara membakar, kita telah terjebak jauh mengenai ini, kita lengah untuk menganalisisnya lebih jauh lagi. Ketika kebijakan-kebijakan terkait ini ditarik mundur, ada persoalan yang lebih besar dibelakangnnya yang tidak terlihat, tetapi telah berjalan. Mudah-mudahan tulisan ini bisa membuka tabut itu, dan kiranya menjadi bahan untuk kita diskusikan dan disikapi bersama.

Kabar yang tidak begitu mengenakan datang pada suatu hari di salah satu millis lingkungan, kabar yang disampaikan datang dari kawan-kawan Koalisi Pembaharuan Agraria (KPA) yang menyampaikan kabar MoU antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, No. 3/Skb/Bpn/2007, No. B/576/III/2007 Tentang Penanganan Masalah Pertanahan. Koalisi Pembaharuan Agraria (KPA) menilai beberapa bagian isi dari MOU itu sebaliknya mengancam dan tidak berpihak terhadap rakyat, antara lain : Pasal 5 Ayat 3: BPN menjalankan MoU ini adalah bentuk persiapan legal dalam institusi BPN untuk mendorong lahirnya UU Pertanahan Sehingga, kebijakan nasional BPN sesungguhnya adalah mendorong lahirnya UU Pertanahan bukan mengimplementasikan UUPA No.5 th 1960. Padahal, telah banyak dilontarkan sejumlah argumentasi bahwa carut marut dari hukum agraria kita sebenarnya disebabkan oleh tidak dijalankannya UUPA 1960 dan dijalankannya pendekatan sektoral dalam menangani sumber-sumber Agraria seperti: hutan, Tanah, pesisir-pesisir kelautan, pertambangan, tataruang, pertanian.

Pertengahan bulan September satu tahun yang silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyinggung mengenai Reformasi Agraria dalam salah satu naskah pidatonya yang disampaikan pada upacara Pemberian Gelar Doktor Kehormatan, Universitas Andalas, Padang, dalam naskah tersebut menyebutkan (6) enam alasan utama perlunya pembangunan pertanian berkelanjutan, diantaranya : soal kemiskinan, pengangguran dan hutang negara, dalam naskah tersebut disebutkan Petani dan Masyarakat Adat adalah kelompok utama yang mengalami langsung terkait dengan alasan-alasan utama tersebut.

Joyo Winoto selaku pemegang mandat dari Presiden selaku Penanggungjawab Program Pembaruan Agraria Nasional Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Yang mencakup pelaksanaan Landreform dan Acess Reform. “Landreform yang kami cetuskan ini membuka akses kepada masyarakat pada sumber-sumber ekonomi tanah dalam satu paket” TEMPO (Edisi, 4-10 Desember 2006). Akses reform yang dimaksud berhubungan dengan program penunjangan untuk mendapatkan akses financial, pasar, hingga teknologi pertanian.

Program ini akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2007 hingga 2014. Tanah seluas 8,15 juta hektar akan dibagikan ke masyarakat miskin dengan kriteria tertentu dan pengusaha dengan ketentuan terbatas. Diperkirakan 6 juta hektar lahan akan dibagikan untuk masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar sisanya diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif dengan tetap melibatkan petani perkebunan. Negara dapat mencabut kembali pemberian tanah tersebut jika tidak dimanfaatkan untuk usaha produktif. Tanah yang akan dibagikan berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Semangat Reformasi Agraria inilah yang kemudian dituangkan dalam MOU antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan POLRI, semangat inipun nampaknya juga telah sampai di Kalimantan Tengah dengan telah dipersiapkan dengan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) Provinsi Kalimantan Tengah Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, sayangnya dalam salah satu pasal yang tertuang dalam RAPERDA Provinsi Kalimantan Tengah Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tersebut harus dipertimbangkan lagi. Pasal yang dimaksudkan adalah Pasal 7, yang isinya lebih banyak menyinggung soal Pengelolaan, Pemanfaatan, Pembersihan tanah atau Lahan tidak dilakukan dengan cara pembakaran tanah atau lahan berserta sanksinya.

Walaupun sempat diklarifikasikan soal RAPERDA Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar ini dalam suatu pertemuan, tetap saja ini akan menjadi sumber ancaman bagi masyarakat khususnya masyarakat adat di Kalimantan Tengah, dan dalam kesempatan ini sekaligus mengingatkan perlunya prinsip kehati-hatian, WALHI KALTENG dalam satu kesempatan bahkan menyatakan menolak dengan tegas mengenai RAPERDA ini.

Ditambah lagi dengan Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) yang akan disyahkan yang sangat berpihak kepada investor mengarah kepada proses Liberalisasi, kemudahan menguasai lahan termasuk lamanya Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang ”dipinjam Pakai” untuk kegiatan investasi sampai dengan 95 tahun, HGB 80 tahun dan Hak Pakai 70 tahun. Lihat saja apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah diawal tahun 2007 ini. Pemerintah lebih getol mengarahkan kebijakan pembangunan yang pro-investor, memfasilitasi keluarnya hak-hak dan ijin baru pengusahaan dan pengelolaan tanah dan kekayan alam lainnya, asset produktif makin terkonsentrasi dan terakumulasi kepada perusahaan yang juga mendominasi pada sektor produksi dan perdagangan, mengantikan semangat land reform yang termuat dalam UUPA No.5 Th. 1960.

Ditambah lagi Perpres No.5 tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, sebagai pendorong terjadinya peningkatan investasi yang ditanamkan ke sektor perkebunan pemasok bahan baku agrofuel, diantaranya tanaman kelapa sawit dan jarak pagar. Kebun-kebun baru dibuka, hutan-hutan dikonversi hampir tanpa batas, sebagai propaganda para petani dibujuk untuk mulai menanam jarak pagar, untuk mengalihkan perhatian pembukaan perkebunan sawit secara spektakuler. Data statistiknya menurut Buletin Pembaruan Tani Juli 2007, jumlah petani gurem dan petani tanpa lahan meningkat drastis dari 52,7% tahun 1993 menjadi 56,5% di tahun 2004. tahun 2001 perkembangan luas lahan pertanian tanaman pangan yang nota bene pertanian rakyat, hanya meningkat 0,2% yakni 7,77 juta hektar tahun 1986 menjadi 7,79 juta hektar ditahun 2002. Di sisi lain, dalam periode yang sama luas lahan perkebunan meningkat tajam yakni 8,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 16,71 juta hektar pada tahun 2000 atau meningkat hampir 100%. Dengan perkembangan agrofuel ini akan menjadi gelombang kedua involusi pertanian, setelah masa pertama yaitu ketika revolusi hijau dicanangkan di tahun 70-an.

Semangat Reformasi Agraria yang di perjuangkan oleh para aktivis selama ini berlawanan dengan semangat dari Reformasi Agraria yang dijalankan versi Negara. Semangat UUPA No. 5 th 1960 yang menjadi dasar dari Reformasi Agraria, secara sistematis akan digantikan dengan UU Pertanahan, padahal implementasi dari Reformasi Agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) belum tuntas dilakukan. Lebih banyak dikaji bahwa Reformasi agraria ini lebih kepada kepentingan Investasi.

Skema diatas sedikit banyak menjelaskan sistematika penguasaan lahan oleh Negara melalui kebijakan, terlebih dengan adanya rencana UU Pertanahan dan UU Penanaman Modal, lebih kepada melindungi kepentingan pihak investasi. Dari program yang dijalankan secara bertahap mulai tahun 2007 hingga 2014, yaitu tanah seluas 8,15 juta hektar yang akan dibagikan ke masyarakat miskin dengan kriteria tertentu dan pengusaha dengan ketentuan terbatas. Dengan pembagian 6 juta hektar lahan akan dibagikan untuk masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar sisanya diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif dengan tetap melibatkan petani perkebunan. Terkait ini nampaknya di Kalteng diimplementasikan dengan Program Revitalisasi Perkebunan 2007 – 2010, akan dibangun kebun rakyat seluas 579.000 ha dengan rincian 152.000 ha kebun karet rakyat dengan pola kemitraan dan non kemitraan, dan 427.000 ha kebun plasma kelapa sawit dengan pola kemitraan.

Dalam UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 7 ayat (1) terkait kepentingan masyarakat, dalam perencanaan usaha pengembangan perkebunan yang akan di laksanakan pemerintah harus memuat dan melihat faktor kepentingan masyarakat, baik di tinjau jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya pemerintah harus melihat dan menilai asas manfaat atas resiko usaha pengembangan perkebunan bagi masyarakat. Sehingga terkait revitalisasi perkebunan di Kalteng. Secara khusus mengenai Program Revitalisasi Perkebunan, masyarakat di beberapa daerah di Kalteng menginginkan lebih banyak perkebunan karet, mengenai ini Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang secara positif menyikapi aspirasi yang berkembang dimasyarakat, termasuk mencari solusi penjamin khusus perkebunan karet rakyat walaupun hasilnya sampai dengan sekarang belum bisa menjawab persoalan yang ada., dan beberapa kali beliau menyatakan melalui beberapa media massa jika aspirasi yang berkembang dimasyarakat dari Program Revitalisasi Perkebunan adalah dibangun kebun karet rakyat, adalah menjawab apa yang dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 2004, dan semangat dari Land Reform yaitu membuka akses kepada masyarakat pada sumber-sumber ekonomi tanah dalam satu paket, tinggal keinginan Pemerintah Provinsi mempelajari hal ini dengan lebih bijaksana.

Terkait Tanah atau lahan, sadarkah atau tidak kita, bahwa persoalan tanah atau lahan adalah isu dunia. Sudah ada sejak jaman kolonialisme, PD I dan PD II hingga jaman IMF, Bank Dunia, investasi ala investor (yang sebenarnya adalah Neo-Liberalisme), sebenarnya tidak jauh-jauh dari persoalan penguasaan tanah/lahan, bahkan dalam produk kebijakan yang dihasilkan oleh negara-pun banyak terkait soal penguasaan tanah (dan termasuk apa saja yang ada di dalam maupun diatasnya tentunya). Dan harus juga dilihat bahwa negara adalah alat pasar untuk mendapatkan keadilan sosial. Karena itu kepentingan pasar dapat mengalahkan kepentingan negara, lebih-lebih menyangkut tanah.

Dalam istilah Dunia pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga, menurut Emil Kleden SEKJEN AMAN dalam salah satu tulisannya, mengatakan Dunia Pertama memandang tanah diseluruh dunia adalah milik warga dunia. Dunia Kedua memandang tanah adalah milik negara dan karena itu semua pengelolan tanah diatur oleh negara, Dunia ketiga umumnya dipandang dan diperlakukan sebagai ”cadangan tanah” bagi dunia pertama dan sampai tingkat tertentu – juga bagi Dunia kedua, dan nampaknya apa yang telah disampaikan diatas telah terjadi di Bumi Kalimantan Tengah ini. Nordin mantan Direktur Eksekutif WALHI KALTENG, dalam salah satu rilisnya menyatakan bahwa hampir 3 juta hektar lahan di Kalimantan Tengah ini hanya dikuasai oleh 8 orang saja, yang notabene adalah Investor asing yaitu antara lain Malaysia dan Singapura dari sektor tertentu dan sebagiannya lagi dari negara asing lainnya.

Data penguasaan konsesi lahan di Indonesia misalnya dapat membuktikan tidak adanya perubahan kearah tersebut. Data yang dikeluarkan oleh JATAM pada tahun 2005, misalnya menunjukkan bahwa 35% dari 1,9 juta km2 atau sekitar 67 juta ha tanah telah dikuasakan kepada konsesi pertambangan. HPH dan HTI menguasai 44 juta ha lahan sementara HGU sekitar 15 juta ha. Sementara alokasi untuk proyek-proyek lain seperti pendidikan dan kesehatan, pertanian dan pemukiman sekitar 70 juta ha. Di mana 200 juta rakyat harus mencari sumber hidup? Dengan luas daratan Indonesia yang 190 juta ha, dan jumlah penduduk yang 220 juta jiwa, maka lebih dari 200 juta manusia harus bertahan hidup diatas lahan yang kurang dari 40 juta ha.

Di Kalimantan Tengah, dalam RTRWP Kalteng Perda No.8 Tahun 2003, hanya ada dua (2) peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh ”rakyat”, yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukkan Lainnya [KPPL]. KPP Kalteng diperuntukkan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162,88 ha KPP dan KPPL tersebut ternyata telah didistribusikan untuk Perkebunan Besar [sawit] yang luasnya adalah sekitar 2,5 juta hektar, jadi sisanya hanya tinggal 2,2 juta ha yang akan ”diperebutkan” oleh 1,9 juta penduduk Kalteng.

Akankah dalam arena perebutan sisa lahan ini, Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukkan Lainnya [KPPL], kemudian dihembuskanlah penataan Ladang Menetap? Dikaitkan lagi dengan pernyataan-pernyataan bahwa Bencana Asap diakibatkan oleh kegiatan berladang petani peladang yang membuka lahannya dengan membakar lahan? Padahal bisa saja dibalik itu sebenarnya adalah Bertujuan untuk Kepentingan Investasi!

Ini dapat dibuktikan dengan overlay peta tata ruang perijinan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Dokumen WALHI KALTENG) untuk Perkebunan, Pertambangan, HPH dan IPK, bahkan beberapa kawasan yang adalah Hutan Produksi telah dipetakan perijinannya untuk Pertambangan dan HPH, yang lebih parah adalah beberapa kawasan perijinan tersebut saling tumpang tindih, mendukung informasi yang dikemukakan dalam tulisan diatas mengenai 2,2 juta ha Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukkan Lainnya [KPPL], yang akan ”diperebutkan” oleh 1,9 juta penduduk Kalteng.

Jadi peruntukkan kawasan “hutan” yang dikatakan dikelola oleh petani peladang “berpindah” itu sangat mustahil karena hampir sebagian besar kawasan “hutan” sudah dikuasai oleh pemerintah melalui perijinan untuk perusahaan, sekali lagi penjelasan ini mendukung pernjelasan yang dikemukakan sebelumnya di tulisan diatas mengenai semangat Reformasi Agraria sebenarnya adalah untuk kepentingan investor bukan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai bahan pendukung, dari penelitian yang dilakukan oleh LAMAN dibeberapa daerah, tradisi ladang berpindah sudah lama ditinggalkan, hal ini antara lain karena lahan semakin terbatas dan berkurang, karena kawasan-kawasan lahan telah dikuasai oleh pihak perusahaan baik perkebunan besar kelapa sawit, juga dikuasai oleh HPH dan Pertambangan.

Masih dikaitkan dengan Instruksi Gubernur mengenai Larangan mengelola Ladang tanpa Bakar dengan berlindung di balik INPRES Tanggal 14 Juni 2007, UU No. 23 Th. 1997 Tentang Lingkungan Hidup dan Maklumat KAPOLRI dan telah disampaikan dibeberapa media masa, di spanduk-spanduk, juga ditegaskan lagi dalam Diskusi Publik mengenai solusi Mengelola Ladang tanpa Bakar, kerja sama dengan CKPP (Central Kalimantan Peatland Programe) pada tanggal 28 Agustus 2007 bertempat di Aula Rahan UNPAR. Pertemuan yang dihadiri langsung oleh Gubernur, Kapolda dan unsur muspida lainnya Dimana melalui pernyataanya pada kesempatan tersebut, Gubernur menekankan larangan bakar lahan, meski dalam bentuk apapun, termasuk diantaranya berladang.

Aparat Kepolisian dalam rangka mendukung Instruksi tersebut juga melakukan penertiban pelaku pembakaran lahan, dengan menggunakan Perda No.5 th 2003 Tentang Pengendalian Hutan dan Lahan, Maklumat Kapolda Kalteng No. Pol:mak/01/VIII/2007 tanggal 10 Agustus 2007, Tentang sangsi pidana terhadap pembakaran lahan atau ilalang, serta perintah Kapolres berkaitan dengan peningkatan patroli rutin, yang adalah turunan dari Maklumat KAPOLRI (seperti yang diungkapkan pada Diskusi Publik di Aula Rahan UNPAR). Padahal di dalam salah satu pasal Perda No.5 th. 2003 tersebut, menyatakan membolehkan membakar lahan dengan sistem terbatas dan tata caranya juga diatur (juga dalam Perda Kota), hal inilah seperti yang pernah disampaikan oleh Rahmadi G. Lentam dalam salah satu komentarnya di salah satu media massa menyatakan “hal ini juga membingungkan”.

Selain itu, berdasarkan analisis kebijakan yang dilakukan oleh LAMAN bersama beberapa kawan-kawan pemerhati masalah ini, jika Maklumat KAPOLRI adalah tindaklanjut dari Kesepakatan Bersama Antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Penanganan Masalah Pertanahan, akan menjadi lebih aneh jika kemudian Maklumat tersebut dipergunakan untuk persoalan pembakaran lahan, padahal nyata-nyata MOU BPN dan KAPOLRI adalah untuk persoalan penanganan masalah pertanahan.... hm...??

Padahal himbauan yang pernah dilontarkan oleh Presiden RI pada tanggal 16 Maret 2006 (Kalteng Post) judul “Prihatin “Ekspor” Asap, sangat jelas dan lebih menitik beratkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian yang berkontribusi besar timbulnya “Asap” dari pembakaran lahan. Bila dikutip himbauan beliau, yaitu “Presiden meminta pemerintah daerah bekerjasama dengan pengusaha perkebunan sawit untuk menghilangkan praktik pembakaran hutan guna pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit”.

Mungkinkah skema Penguasaan Lahan oleh Negara untuk kepentingan Investor ini berlindung dibalik propaganda penanganan masalah Asap secara Nasional? Karena ada beberapa hal yang nampaknya harus diklarifikasi, seperti yang terlihat dalam skema, yang merubah semangat Reformasi Agraria mandat yang disampaikan dalam UUPA No. 5 tahun 1960 yang mencakup pelaksanaan Landreform dan Acess Reform. Landreform yang membuka akses kepada masyarakat pada sumber-sumber ekonomi tanah dalam satu paket, maka MoU antara BPN dan POLRI yang dipandang sebagai bentuk persiapan legal dalam institusi BPN untuk mendorong lahirnya UU Pertanahan dan bukan mengimplementasikan UUPA No.5 th 1960, bersama-sama dengan seruan yang disampaikan oleh kawan-kawan dari Koalisi Pembaharuan Agraria (KPA), bersama ini menyampaikan :1. Menghimbau Kapolri dan BPN untuk mencabut MoU tersebut. 2. Mendorong parlemen untuk mendesak pemerintah menjalankan Pembaruan Agraria sejati berdasarkan UUPA 1960, yang dalam implementasinya dilakukan secara Nasional dan melibatkan serikat-serikat tani dan elemen masyarakat sipil lainnya yang selama ini memperjuangkan pembaruan agraria.

Bersamaan dengan ini juga dalam rangka tindakan segera sebagai bentuk antisipasi terkait lahan yang harus dilakukan oleh masyarakat adat, petani peladang, pekebun tradisional, yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan memperkuat legalitas tanah/lahan, yaitu dengan menguatkan posisi tawar komunitas melalui pendokumentasian kepemilikan tanah/lahan dengan membuat sejarah kepemilikan tanah/lahan. Bentuk riil untuk memperkuat legalitas tanah milik masyarakat adalah melalui surat kepemilikan tanah adat yang diatur oleh adat setempat, pemilik lahan mengajukan kepada kepala adat terus dilanjutkan ke kepala desa dan ditembuskan ke Kecamatan serta Bupati yang sifatnya hanya mengetahui, sementara yang mengesahkannya adalah Kepala Adat dan Kepala Desa.

Dan sebagai payung hukumnya adalah UUPA No. 5 tahun 1960 Pasal 56 disebutkan Selama Undang-Undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ketentuan Undang-undang ini“.

SALAM

Tidak ada komentar: