Masih kuingat, walau hampir seminggu ini berlalu... pasca dialog itu .. masih saja kumerasa geram... desir marahku yang terasa tercekat mendera paksaku untuk keluarkan ucap kataku yang juga ternyata disaat itu tak hanyaku saja yang merasa marah... terbaca benar dipias wajah-wajah petani peladang yang rela datang demi sebuah keadilan....
Dengan senyum dan tampang yang seolah tulus memposisikan diri untuk kepentingan rakyat, dibalik topeng wajah itu apa yang sebenarnya kau simpan wahai penguasa.
Di balik jas dan dasi yang terlihat bukan jahitan biasa itu, kau duduk disana dengan pandang awas mu ke seluruh ruangan, yang kau tau tempatmu diantara kepentingan, jabatan dan ... entahlah... benarkah kau ada juga diantara utusmu! ... orang-orang yang mungkin telah berharap banyak ketika pilihmu tuk pimpin bumi Isen Mulang ini.
Apakah tawar saja jiwa itu ketika kau cetuskan perang melawan kaum peladang? Atau kau tak sadar telah kau dentumkan meriam peperangan itu di tengah kerumunan utus yang sedang merangkak keluar dari penjajahan atas negeri ini?
Masihku menggelengg-gelenggkan kepalaku tak percaya .... ada yang salah .... apa sebenarnya dibalik skenario yang sedang kalian gulirkan ??? bukankah telah kau dengar disana menolak ... disana juga menolak ... tapi kenapa kemudian seolah tak perduli?... sementara sang biang penyebab atas asap yang kita tau dan bukan rahasia umum lagi itu siapa .... tapi ini tak pernah kau tunjukkan jarimu atas mereka! Kenapa kemudian seolah petani peladanglah yang dianggap penyebab atas bencana asap yang tiap tahun dirasakan?? .... masih ku menggelengg-gelenggkan kepalaku ...dan... masih terasa benar geram hatiku.
------------------------------------------------------------- Palangka Raya, 7 September 2007
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, telah mengeluarkan keputusan pelarangan mengolah lahan dengan bakar, apakah genderang perang yang sedang ditabuhkan itu ?
Diskusiku dengan Kiki, sepulangku mengikuti diskusi publik itu dengan membawa tanya-tanya yang kucorat-coret di buku notesku yang tak sempatku tanyakan karena “lagi-lagi” keterbatasan waktu yang diberikan. Kuminta juga Nana untuk ikut dalam diskusi kami... berharap tidak saja dia tenggelam ditumpukan data-data yang sedang diolahnya, setidaknya kuingin diskusikan soal pelarangan mengolah lahan dengan bakar itu.
Diskusi dimulai dengan pernyataanku ...” sepertinya ini senjata makan tuan” ...
Kulihat sejenak Kiki mengernyitkan dahinya sejenak menyimak pernyataanku yang selintas seperti sebuah kegusaran juga sebuah amarah dalam sebuah tanya besar...
selama ini kita menyerukan untuk Stop kebakaran hutan ... Stop asap ... tiba-tiba aku merasa ini seperti bumerang yang kemudian dihantamkan oleh pemerintah kepada petani peladang .... Tidak adil ki ... ucapku ... selama ini target kita adalah perusahaan perkebunan yang membuka hutan dengan cara land clearingnya, Tidak adil Ki ... ucapku lagi ... sementara sampai dengan hari ini tidak ada satupun dari kasus yang sedang ditangani oleh pihak kepolisian belum ada satupun pelaku pihak perusahaan yang lolos untuk diusut dipengadilan... selalu saja berkas-berkasnya dikembalikan karena katanya kurang lengkap dan harus diperbaiki, sementara .... di kasus lain pembakar lahan yang adalah masyarakat biasa yang kebetulan tertangkap tangan sedang membersihkan lahan untuk usaha berkebunnya, diproses bahkan sudah ada beberapa yang sudah masuk penjara dan divonis hukumannya ....
Sementara ... lanjutku lagi ... jika dikatakan peladang adalah biang kerok penyebab asap ... data-data hasil penelitian yang dilakukan oleh CARE international ... ucapku sembari membuka-buka catatanku mengenai data yang kumaksudkan dan kubaca cepat kira-kira datanya adalah berikut : CARE International Indonesia, GTZ dan IFFM (2004) mengemukakan tentang kebakaran lahan dan hutan Kalimantan Tengah berdasarkan monitoring harian, sbb: (1) tahun1997: areal hutan dan lahan berkurang seluas 39.416,09 ha; (2) tahun 2001, dijumpai sebaran kebakaran pada kawasan areal eks PLG ±170 ha, ladang masyarakat yang kering dan tidak tergenang, kiri kanan jalan trans Kalimantan sepanjang 25 – 50 Km (setara luasan 50 - 55 Ha), dan pada areal Perkebunan Besar, HPH dan HTI; (3) tahun 2002: terdapat banyak titik api pada kawasan eks PLG, HPH, lahan, serta sekitar jalan trans Kalimantan; (4) tahun 2003: selama bulan Juni terdeteksi 175 titik api dan bulan Juli sebanyak 141 titik api pada kawasan hutan, lahan gambut, dan areal konservasi eks PLG. Page dkk (2002) mengemukakan bahwa kebakaran terbesar tahun 1997 pada areal gambut Kalteng mencapai 0,73 juta Ha.
Dari data ini sangat jelas dikatakan bahwa sebagian besar kebakaran lahan terjadi di areal perkebunan besar, HPH dan HTI dan kawasan lahan gambut, kataku lagi menambahkan. Ditambah lagi dengan data hot spot konsentrasinya dikawasan-kawasan yang diperuntukkan itu, jika dikatakan peladang yang menyebabkan kebakaran ... hayo kita liha peta penyebaran desa... ucapku, kita tahu bahwa peladang lebih banyak tersebar di daerah hulu... jarang di daerah perkotaan... paling tidak kalau masuk dalam wilayah kelola desa ambil saja 5 km seperti data yang diolah kawan-kawan HCV, disekitar kawasan itu tidak ada terdapat hot spot, uraiku sambil memperlihatkan peta yang kumaksudkan di laptopku sambil menunjuk-nunjuk titik penyebaran desa yang kumaksudkan.
Nah... tambahku ... kalau kita berhitung ni, jumlah peladang dan jumlah perkebunan yang ada di kalteng bagaimana sih perbedaannya??... tanyaku ... tanpa memberikan kesempatan kiki untuk menjawab pertanyaanku tadi... kujawab sendiri, ..memang sih ... jumlahnya banyak jika dibandingkan jumlah kebun... dan lahan mereka terpencar.... tapi ... tunggu dulu ... kalau dilihat dari jumlah ... petani peladang memang banyak ki... ucapku, tapi kalau dilihat dari luasan lahan nanti dulu!!! Pekikku .. lebih luas lahan yang dimiliki oleh pihak perkebunan ditambah HPH dan HTI.... walaupun jumlah pemilik atas dasar ijin yang dikeluarkan memang sedikit.............
Serta merta kiki mejentikkan jarinya dan bangkit berdiri dari kursinya ... menyambar spidol dan segera menuliskan apa yang terakhir kuucapkan....
Nah se... ucapnya.... bisa jadi ini persoalannya..... sergah kiki... persoalannya adalah pendekatan yang dipakai Gubernur adalah dari jumlah pelakunya se... tidak melihat luasan lahannya..... dan sambil mencatat apa yang menjadi kata kunci dari panjang lebar ocehanku tadi “ pendekatan Gubernur adalah pendekatan pelaku”.
Lalu diskusi dilanjutkan dengan penjelasan-penjelasan kiki yang coba membuat alur yang mendekatkan penjelasan dari kata kunci tadi.
Diskusi sempat juga berlanjut lama dengan adanya kehadiran pak sidik dan kawan-kawannya yang kebetulan bertandang ke kantor LAMAN siang itu, ditengah-tengah diskusi kami...
Diskusi siang itupun diakhiri sementara dengan beberapa bacaaan :
Disisi pemerintah melihat luasan dari sisi peladang dan membandingkannya luasan dari sisi perusahaan. Peladang tidak dihitung sebagai investasi atau aset oleh pemerintah, sementara perusahaan dipandang sebagai aset>> padahal semestinya tidak begitu>> mestinya peladang dan perusahaan kedua-duanya harus dilihat oleh pemerintah sebagai asset dan sama-sama sebagai investasi.
Dari sisi analisis kasus >> peladang selalu menggunakan aturan informal dan perusahaan selalu menggunakan hukum formal, sehingga ketika terkait perjuangan hak “komunitas rakyat” atas assetnya termasuk lahan.. selalu diposisi yang kalah, karena realitanya peladang atau “komunitas rakyat” hampir semua tidak memiliki status kepemilikan lahan yang sah menurut hukum formal.
Pemerintah dalam menyelesaikan kasus selalu pendekatan polisi sementara masyarakat pendekatan advokasi melalui salah satunya NGO, sehingga disisi hukum pemerintah selalu konsisten pemberlakuan hukumnya.
Bisa jadi yang melatar belakangi ini kalau di analisis dari piramida kepentingan, maka Gubernur saat ini adalah diposisi yang memang mencari posisi keamanan dengan pendekatan peraturan, posisi prestasi atas kinerjanya sebagai gubernur, predikat untuk sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan dari pelaksana “mandat” instruksi presiden dan maklumat POLRI. Sementara kepentingan peladang dalam analisis piramida kepentingan hanya diposisi pemenuhan kebutuhan pokok, yang realitanya adalah juga menyumbang secara tidak langsung ke tingkatan lain diatasnya.
Catatan lainnya adalah bahwa dengan pemberlakuan larangan ini, maka konsekuensinya adalah kehilangan kearifan lokal yang selama ini menjadi salah satu identitas sistem berladang komunitas masyarakat adat dayak di Kalimantan Tengah... sambil bergurau aku berguman .... ini mungkin istilah yang kekinian itu diberlakukan ... kalau adat istiadat itu memberikan dampak buruk ... mungkin ada baiknya memang sudah harus ditinggalkan...
Tapi ... gumamku lagi... hanya saja ... kenapa seperti diburu-buru betul... kalau memang ini mau diterapkan .. disisi lain itu memang baik... asalkan perlakuannya sama untuk semua pelaku, dan sudah dipersiapkan minimal 2 atau 3 tahun yang lalu.. sehingga petani peladang juga sudah mempersiapkan diri untuk alih teknologi... ditambah ... teknologinya sendiri belum dirancang seperti apa mahluknya.
Pak Sidik menambahkan akan mencoba mencari aturan adat apakah ada yang mengatur tentang pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian atau berladang, jika ada bisa menjadi alat atau ruang kompromi ... seperti yang coba beliau tawarkan dalam satu kesempatan tanya jawab ketika dialog.
Kiki juga menambahkan bahwa minimal harus ada target antara yang menjadi solusi alternatif yang diberikan oleh Pemerintah Daerah menyikapi dibeberapa daerah petani telah membersihkan lahan dan bulan depan siap bakar. Minimal target antara itu adalah cara untuk mengulur waktupemeberlakuan secara menyuruh PERDA No.5 tahun 2002 tentang pembakaran lahan >> goalnya adalah adanya Teknologi Tepat Guna dan telah tersebar secara merata di masyarakat petani peladang.
Catatan diskusi ini akan menjadi bahan bersama untuk memperkaya beberapa masukan yang coba digagas oleh Pak Sidik melalui Forum Mahaga Petak Danumnya, dan mengajak juga LAMAN untuk ikut serta berkontribusi memberikan sumbang pikirannya nanti... akupun mengiyakan tawaran beliau ... dan diskusi kamipun berakhir.
Dengan senyum dan tampang yang seolah tulus memposisikan diri untuk kepentingan rakyat, dibalik topeng wajah itu apa yang sebenarnya kau simpan wahai penguasa.
Di balik jas dan dasi yang terlihat bukan jahitan biasa itu, kau duduk disana dengan pandang awas mu ke seluruh ruangan, yang kau tau tempatmu diantara kepentingan, jabatan dan ... entahlah... benarkah kau ada juga diantara utusmu! ... orang-orang yang mungkin telah berharap banyak ketika pilihmu tuk pimpin bumi Isen Mulang ini.
Apakah tawar saja jiwa itu ketika kau cetuskan perang melawan kaum peladang? Atau kau tak sadar telah kau dentumkan meriam peperangan itu di tengah kerumunan utus yang sedang merangkak keluar dari penjajahan atas negeri ini?
Masihku menggelengg-gelenggkan kepalaku tak percaya .... ada yang salah .... apa sebenarnya dibalik skenario yang sedang kalian gulirkan ??? bukankah telah kau dengar disana menolak ... disana juga menolak ... tapi kenapa kemudian seolah tak perduli?... sementara sang biang penyebab atas asap yang kita tau dan bukan rahasia umum lagi itu siapa .... tapi ini tak pernah kau tunjukkan jarimu atas mereka! Kenapa kemudian seolah petani peladanglah yang dianggap penyebab atas bencana asap yang tiap tahun dirasakan?? .... masih ku menggelengg-gelenggkan kepalaku ...dan... masih terasa benar geram hatiku.
------------------------------------------------------------- Palangka Raya, 7 September 2007
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, telah mengeluarkan keputusan pelarangan mengolah lahan dengan bakar, apakah genderang perang yang sedang ditabuhkan itu ?
Diskusiku dengan Kiki, sepulangku mengikuti diskusi publik itu dengan membawa tanya-tanya yang kucorat-coret di buku notesku yang tak sempatku tanyakan karena “lagi-lagi” keterbatasan waktu yang diberikan. Kuminta juga Nana untuk ikut dalam diskusi kami... berharap tidak saja dia tenggelam ditumpukan data-data yang sedang diolahnya, setidaknya kuingin diskusikan soal pelarangan mengolah lahan dengan bakar itu.
Diskusi dimulai dengan pernyataanku ...” sepertinya ini senjata makan tuan” ...
Kulihat sejenak Kiki mengernyitkan dahinya sejenak menyimak pernyataanku yang selintas seperti sebuah kegusaran juga sebuah amarah dalam sebuah tanya besar...
selama ini kita menyerukan untuk Stop kebakaran hutan ... Stop asap ... tiba-tiba aku merasa ini seperti bumerang yang kemudian dihantamkan oleh pemerintah kepada petani peladang .... Tidak adil ki ... ucapku ... selama ini target kita adalah perusahaan perkebunan yang membuka hutan dengan cara land clearingnya, Tidak adil Ki ... ucapku lagi ... sementara sampai dengan hari ini tidak ada satupun dari kasus yang sedang ditangani oleh pihak kepolisian belum ada satupun pelaku pihak perusahaan yang lolos untuk diusut dipengadilan... selalu saja berkas-berkasnya dikembalikan karena katanya kurang lengkap dan harus diperbaiki, sementara .... di kasus lain pembakar lahan yang adalah masyarakat biasa yang kebetulan tertangkap tangan sedang membersihkan lahan untuk usaha berkebunnya, diproses bahkan sudah ada beberapa yang sudah masuk penjara dan divonis hukumannya ....
Sementara ... lanjutku lagi ... jika dikatakan peladang adalah biang kerok penyebab asap ... data-data hasil penelitian yang dilakukan oleh CARE international ... ucapku sembari membuka-buka catatanku mengenai data yang kumaksudkan dan kubaca cepat kira-kira datanya adalah berikut : CARE International Indonesia, GTZ dan IFFM (2004) mengemukakan tentang kebakaran lahan dan hutan Kalimantan Tengah berdasarkan monitoring harian, sbb: (1) tahun1997: areal hutan dan lahan berkurang seluas 39.416,09 ha; (2) tahun 2001, dijumpai sebaran kebakaran pada kawasan areal eks PLG ±170 ha, ladang masyarakat yang kering dan tidak tergenang, kiri kanan jalan trans Kalimantan sepanjang 25 – 50 Km (setara luasan 50 - 55 Ha), dan pada areal Perkebunan Besar, HPH dan HTI; (3) tahun 2002: terdapat banyak titik api pada kawasan eks PLG, HPH, lahan, serta sekitar jalan trans Kalimantan; (4) tahun 2003: selama bulan Juni terdeteksi 175 titik api dan bulan Juli sebanyak 141 titik api pada kawasan hutan, lahan gambut, dan areal konservasi eks PLG. Page dkk (2002) mengemukakan bahwa kebakaran terbesar tahun 1997 pada areal gambut Kalteng mencapai 0,73 juta Ha.
Dari data ini sangat jelas dikatakan bahwa sebagian besar kebakaran lahan terjadi di areal perkebunan besar, HPH dan HTI dan kawasan lahan gambut, kataku lagi menambahkan. Ditambah lagi dengan data hot spot konsentrasinya dikawasan-kawasan yang diperuntukkan itu, jika dikatakan peladang yang menyebabkan kebakaran ... hayo kita liha peta penyebaran desa... ucapku, kita tahu bahwa peladang lebih banyak tersebar di daerah hulu... jarang di daerah perkotaan... paling tidak kalau masuk dalam wilayah kelola desa ambil saja 5 km seperti data yang diolah kawan-kawan HCV, disekitar kawasan itu tidak ada terdapat hot spot, uraiku sambil memperlihatkan peta yang kumaksudkan di laptopku sambil menunjuk-nunjuk titik penyebaran desa yang kumaksudkan.
Nah... tambahku ... kalau kita berhitung ni, jumlah peladang dan jumlah perkebunan yang ada di kalteng bagaimana sih perbedaannya??... tanyaku ... tanpa memberikan kesempatan kiki untuk menjawab pertanyaanku tadi... kujawab sendiri, ..memang sih ... jumlahnya banyak jika dibandingkan jumlah kebun... dan lahan mereka terpencar.... tapi ... tunggu dulu ... kalau dilihat dari jumlah ... petani peladang memang banyak ki... ucapku, tapi kalau dilihat dari luasan lahan nanti dulu!!! Pekikku .. lebih luas lahan yang dimiliki oleh pihak perkebunan ditambah HPH dan HTI.... walaupun jumlah pemilik atas dasar ijin yang dikeluarkan memang sedikit.............
Serta merta kiki mejentikkan jarinya dan bangkit berdiri dari kursinya ... menyambar spidol dan segera menuliskan apa yang terakhir kuucapkan....
Nah se... ucapnya.... bisa jadi ini persoalannya..... sergah kiki... persoalannya adalah pendekatan yang dipakai Gubernur adalah dari jumlah pelakunya se... tidak melihat luasan lahannya..... dan sambil mencatat apa yang menjadi kata kunci dari panjang lebar ocehanku tadi “ pendekatan Gubernur adalah pendekatan pelaku”.
Lalu diskusi dilanjutkan dengan penjelasan-penjelasan kiki yang coba membuat alur yang mendekatkan penjelasan dari kata kunci tadi.
Diskusi sempat juga berlanjut lama dengan adanya kehadiran pak sidik dan kawan-kawannya yang kebetulan bertandang ke kantor LAMAN siang itu, ditengah-tengah diskusi kami...
Diskusi siang itupun diakhiri sementara dengan beberapa bacaaan :
Disisi pemerintah melihat luasan dari sisi peladang dan membandingkannya luasan dari sisi perusahaan. Peladang tidak dihitung sebagai investasi atau aset oleh pemerintah, sementara perusahaan dipandang sebagai aset>> padahal semestinya tidak begitu>> mestinya peladang dan perusahaan kedua-duanya harus dilihat oleh pemerintah sebagai asset dan sama-sama sebagai investasi.
Dari sisi analisis kasus >> peladang selalu menggunakan aturan informal dan perusahaan selalu menggunakan hukum formal, sehingga ketika terkait perjuangan hak “komunitas rakyat” atas assetnya termasuk lahan.. selalu diposisi yang kalah, karena realitanya peladang atau “komunitas rakyat” hampir semua tidak memiliki status kepemilikan lahan yang sah menurut hukum formal.
Pemerintah dalam menyelesaikan kasus selalu pendekatan polisi sementara masyarakat pendekatan advokasi melalui salah satunya NGO, sehingga disisi hukum pemerintah selalu konsisten pemberlakuan hukumnya.
Bisa jadi yang melatar belakangi ini kalau di analisis dari piramida kepentingan, maka Gubernur saat ini adalah diposisi yang memang mencari posisi keamanan dengan pendekatan peraturan, posisi prestasi atas kinerjanya sebagai gubernur, predikat untuk sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan dari pelaksana “mandat” instruksi presiden dan maklumat POLRI. Sementara kepentingan peladang dalam analisis piramida kepentingan hanya diposisi pemenuhan kebutuhan pokok, yang realitanya adalah juga menyumbang secara tidak langsung ke tingkatan lain diatasnya.
Catatan lainnya adalah bahwa dengan pemberlakuan larangan ini, maka konsekuensinya adalah kehilangan kearifan lokal yang selama ini menjadi salah satu identitas sistem berladang komunitas masyarakat adat dayak di Kalimantan Tengah... sambil bergurau aku berguman .... ini mungkin istilah yang kekinian itu diberlakukan ... kalau adat istiadat itu memberikan dampak buruk ... mungkin ada baiknya memang sudah harus ditinggalkan...
Tapi ... gumamku lagi... hanya saja ... kenapa seperti diburu-buru betul... kalau memang ini mau diterapkan .. disisi lain itu memang baik... asalkan perlakuannya sama untuk semua pelaku, dan sudah dipersiapkan minimal 2 atau 3 tahun yang lalu.. sehingga petani peladang juga sudah mempersiapkan diri untuk alih teknologi... ditambah ... teknologinya sendiri belum dirancang seperti apa mahluknya.
Pak Sidik menambahkan akan mencoba mencari aturan adat apakah ada yang mengatur tentang pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian atau berladang, jika ada bisa menjadi alat atau ruang kompromi ... seperti yang coba beliau tawarkan dalam satu kesempatan tanya jawab ketika dialog.
Kiki juga menambahkan bahwa minimal harus ada target antara yang menjadi solusi alternatif yang diberikan oleh Pemerintah Daerah menyikapi dibeberapa daerah petani telah membersihkan lahan dan bulan depan siap bakar. Minimal target antara itu adalah cara untuk mengulur waktupemeberlakuan secara menyuruh PERDA No.5 tahun 2002 tentang pembakaran lahan >> goalnya adalah adanya Teknologi Tepat Guna dan telah tersebar secara merata di masyarakat petani peladang.
Catatan diskusi ini akan menjadi bahan bersama untuk memperkaya beberapa masukan yang coba digagas oleh Pak Sidik melalui Forum Mahaga Petak Danumnya, dan mengajak juga LAMAN untuk ikut serta berkontribusi memberikan sumbang pikirannya nanti... akupun mengiyakan tawaran beliau ... dan diskusi kamipun berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar