26 September 2007

Masih Soal Larangan Mengelola Lahan Tanpa Bakar

Melalui ini aku ikut sumbang pikir, walaupun mungkin agak tidak terdiskripsi dengan baik, dokumen terbatas dari riset LAMAN dan beberapa dokumen lainnya menunjukkan bahwa berladang adalah merupakan kegiatan utama dari Masyarakat Dayak di kalimantan tengah, sebagai pemenuhan utama kebutuhan karbohidrat, selain kegiatan susbsitem lainnya seperti berkebun, berburu, mencari ikan, mencari emas dll, yang dilakukan diantara pelaksanaan kegiatan berladang, dalam masa tertentu diantara masa setelah tanam, menunggu musim panen.

Pada saat kegiatan berladang dari masa menentukan lokasi untuk berladang sampai dengan masa panen, beberapa komunitas masih melakukan kegiatan ritual adat, ini menunjukkan keterkaitan berladang erat kaitannya dengan identitas budaya.

Sistem gilir balik atau dulang dulik yang sekarang banyak diperdebatkan, dari dokumen jelas sekali di katakan bahwa sekarang sudah hampir tidak ada lagi dilakukan, diantaranya karena kawasan lahan semakin terbatas luasannya.

Terkait isu kebakaran lahan di kawasan gambut, deskripsi jenis tanah di daerah hulu dan hilir sudah tentu berbeda, sehingga juga mempengaruhi sistem pengolahan lahan. pada kawasan hulu yang kebanyakan aktivitas kegiatan berladang dilakukan di daerah tanah "Natai" = versi lamandau, pengelolaan ladang dengan bakar tidak akan menimbulkan bahaya kebakaran merembet ke kawasan atau lahan lainnya, ini sangat berbeda dengan kawasan hilir yang bergambut.

Kabut asap tebal tahun 1997 adalah puncak dari kegiatan besar-besaran pembukaan hutan lahan bergambut oleh perkebunan sawit, dimana sekitar awal tahun 1996 dimulainya pemberian ijin perkebunan dan puncaknya salah satunya di tahun 1997, data hot spot (walaupun sebagian masih haram menggunakan data ini sebagai acuan, karena dianggap lemah), tetapi sebarannya adalah berlokasi dikawasan-kawasan peruntukkan untuk perkebunan, HTI dan HPH (data CARE 2002-klu nda salah), di kawasan hulu yang juga banyak terdapat komunitas peladang, tidak terdapat sebaran "titik api". kemudian data pada tahun 2002 juga menunjukkan dokumentasi kejadian yang sama.

Pertanyaannku adalah kenapa kemudian larangan mengolah lahan tanpa bakar ini diberlakukan sama?

Kalau pendekatannya kepada jumlah pelaku, memang jumlah peladang lebih banyak jika dibandingkan dengan pelaku dari "perkebunan" HPH dan HTI, tetapi jika pendekatannya dari skala luasan lahan, tentu kondisinya akan berbalik, aku juga bertanya-tanya pendekatan yang dilakukan oleh Gubernur itu yang mana ya?

Terkait dengan Identitas Budaya, konsekuensi bagi kita adalah ada satu konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan ketika budaya membakar ladang itu dianggap tidak kekinian lagi dan di hapuskan.

Tetapi menurutku dibalik semua ini adalah menujukkan lemahnya Program Prioritas pembangunan di Kalteng, ketika melulu berorientasi pada insfrastruktur, sehingga kebijakan yang terkait dengan hajat orang banyak ini menjadi acak-acakan, mestinya perangkat untuk mendukung pemberlakuan larangan ini telah dipersiapkan oleh dinas dan instansi terkait 2 - 3 tahun sebelumnya, dan dikonsensuskan bersama, dengan perencanaan yang terdesiminasi secara baik terutama ditingkat komunitas peladang.

Tidak seperti solusi yang dilakukan sekarang, seperti "orang yang kebakaran jenggot saja", maksudnya mungkin baik tapi baik belum tentu benar bukan? toh aku dapat bocoran katanya ini akhirnya jadi program sampai dengan 2011, nah lo jadi proyek khan... ujung2nya politis juga khan... kalau ini dimainkan jadi bahan obyekkan ngapain diturutin...

Kita tidak tahu apa dibalik pelarangan ini jika bacaan terbaru misalnya kerjasama pemprov dengan Korea soal 200.000 ha lahan yang harus dipersiapkan oleh pemerintah, bisa jadi udang dibalik batu dari semua ini adalah persoalan Tanah. Status tanah komunitas peladang dibenturkan dengan status kepemilikan lahan, memperlemah posisi akses komunitas dalam pengelolaan lahan dan melegetimasi penguasaan lahan oleh negara diperuntukkan untuk kaum kapitalis.

dan terakhir terkait soal Hak hidup dan hak Masyarakat adat dayak dalam mengelola sumber daya dan ekonominya dengan pelarangan ini artinya Hak itu telah dilanggar oleh Negara.

Salam
Anse

Tidak ada komentar: