03 Mei 2008

My journey Go To Sampit and Seruyan Sub Province



Dear My Deary

Aku sudah janji untuk menuliskan ini dilembar putihmu, maaf karena sudah dua bulan lebih aku baru bisa membagikan waktuku untuk menulis dan berbagi cerita kekamu.

EPISODE 1

Aku masih ingat, hari itu aku sebenarnya masih sibuk sebagai salah satu anggota dari panitia pelaksana seminar Pembangunan perkebunan sawit yang berkelanjutan di Kalimantan Tengah, dimana aku dan kawanku Kiki, serta kawan-kawan dari POKJA Sawit Multipihak ikut terlibat di kepanitiaan dan waktu itu lagi sibuklah pokoknya..... sampai detik dimana aku harus bersiap berangkat, aku masih belum juga mengemas peralatan lapanganku bahkan aku masih ingat kalau sabun mandi dan shampoku juga belum ada stok sama sekali. Sampai jam 12.00 WIB akhirnya aku harus meloby penjemput kami untuk “berdalih sedikit” minta dijemput jam 14.00 WIB... padahal kemudian ternyata aku tahu bahwa sopir yang menjemput rombongan kami sudah tiba di Palangka Raya jam 12.00 dan dia terpaksa menunggu selama 4 jam karena kami akhirnya baru berkumpul dikantorku jam 4 sore hehehe...

My diary maaf aku memulainya dengan meloncat agak kemanna-mana.... dan aku juga mau jelaskan kalau yang kumaksudkan kami itu adalah aku, Kiki dan Jenny, kami satu tim penelitian HCV 5 terkait sosial, ekonomi dan budaya di sekitar kebun sawit. Keterlibatanku jadi anggota tim dikarenakan pengalamanku tergabung dalam tim HVC Lanscape KALTENG, dan aku masuk di tim untuk HCV5.

Dear My Diary, pada tanggal 5 Februari 2008 kira-kira waktu itu menunjukkan pukul 16.00 WIB, dan dimulailah perjalananku yang sarat dengan pembelajaran yang luar biasa.

Dear My Diary, jalan-jalan menuju kelokasi seperti sebuah mozaik yang satu-satu hilang dan tercerai berai.... aku masih ingat tahun 2002 ketikaku melewati jalan yang sama, rumah-ruamh gubuk dan padang alang-alang yang luas dari bukit satu kebukit lainnya, serta hamparan padang pasir sejauh mata memandang masih menjadi pisau yang mencabik-cabik perasaanku.... sudah enam tahun berlalu, artinya satu masa kepemimpinan telah memimpin negeri Tambun Bungai ini, tapi perubahan belumlah seberapa, masih debu-debu jalanan berterbangan menerpa memoriku tuk ingatkanku tentang keringnya cahaya kehidupan mereka-mereka yang terbiarkan begitu saja.

Sampai kemudian malam akhirnya menyapa perjalanan kami, dan setelah semua “beres” di atur-atur... ... kamipun menuju kewilayah kerja kami masing-masing... oya untuk pertamakali kami masih “bergerombolan” di desa pertama di tiga hari pertama kami dilapangan, dengan harapan ini menjadi alat evaluasi kerja kami bersama nantinya pada saat kami berpencar di lokasi masing-masing.

Dear My Diary, hari itu tanggal 8 Pebruari 2008, kami berangkat menuju lokasi desa pertama, tim besar kami ada sekitar 5 orang, satu orang kawan yang memang menjadi penanggungjawab tim dan satunya lagi kawan dari malaysia yang katanya sedang ngambil S3 nya tentang sosial ekonomi dan Budaya, kawan yang tidak bisa makan makanan yang bernyawa, alhasil dia kesusahan besar ketika tinggal dikampung dengan kerja yang berat banget keluar masuk hutan dan kering dipanggang panas matahari, wah.... nda kebayanglah gimana kira-kira telernya dia ya... tapi aku “yang baik hati” ini hehe... karenaku merasa kasihan melihatnya teler, ku kasihlah dia satu botol Evervesent Vitamin C ku yang selalu kubawa kemana-mana kalau ku lagi melakukan perjalanan, dan walhasil sepertinya sangat membantunya untuk mendapatkan tenaga, berkali-kali dia mengucapkan Thank You -nya.

Kampung pertama tempat kami melakukan riset namanya Sebabi.... Desa yang letaknya tidak begitu jauh dari perkebunan sawit, tipikal kampung-kampung dayak pinggir sungai. Sebaran penduduk diwilayah ini menurutku unik, kampung hulu terdiri dari etnik dayak kampung bagian hilirnya terdiri dari melayu dan suku lainnya bagian tengah kampung adalah campuran... mereka bilang zona putih lah... dimana percampuran baik itu suku, agama dan budaya terjadi di wilayah ini. Kampung Dayak di bagian Hulu mencirikan sekali identitas sosial budaya masyarakat Dayak.

Desa Sebabi terletak di Kabupaten Sampit, letaknya sebelah Selatan berbatasan dengan Pondok Damar Sebelah Utara berbatasan dengan Tanah Putih, Sebelah Timur berbatasan dengan Kenyala dan Sebelah Barat berbatasan dengan Sumber Makmur. Jumlah Penduduk Sebabi adalah 2.597 Jiwa dengan 736 KK dari 10 RT

Tidak jauh dari Desa ini paling dekat 400 m dibelakang rumah-rumah penduduk, berbatasan langsung dengan perkebunan sawit, mereka telah hampir kehilangan besar atas tanah air yang dulunya adalah tempat mereka berladang, berburu, mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya termasuk obat-obatan, mereka telah hampir kehilangan besar harapan hidupnya karena tidak ada lagi sumber-sumber ekonomi mereka.

Sawit masuk telah lama diwilayah ini, bahkan beberapa kali sudah panen buah sawit sejak tahun 96, sampai hari ini mereka tidak punya lisrik yang bisa mereka gunakan 24 jam seperti di kota, mereka bisa menggunakan listrik terbatas dari belas kasihan pemerintah dengan pemberian jatah listrik dari pukul 18.00 sampai 23.00 yang kadang-kadang tak sampai. Itu bagi tempat yang beruntung, didesa lain mereka harus menyediakan listrik sendiri dengan menggunakan mesin “genset” dan harus membeli minyak paling tidak dua liter perhari dengan harga seliter delapan sampai sembilan ribu rupiah, kalikan saja sebulannya berapa...belum lagi kalau ada kerusakan mesin genset-nya dan kelangkaan minyak, bagi yang tidak mampu pilihannya adalah menggunakan lampu tembok. Walaupun menggunakan genset... beberapa masyarakat berceloteh toh setelah jam 11 malam kembali juga pakai lampu tembok... kalau mau jam tayang sampai pagi ya... harus menyediakan minyak mesin yang banyak.

My diary, di Desa Sebabi sebagian besar masyarakatnya sekarang mencari nafkah dengan cara menyedot pasir puya atau pasir sirkon, tempat lokasi penambangan berbatasan dengan kebun sawit, bahkan ada yang berada ditengah-tengah kebun, ditempat dimana aku belum tahu persis siapa pemiliknya dan bagaimana bisa mereka bisa menambang pasir disana. Lokasinya jauh dari kampung dan masuk lagi kedalam sekitar lebih dari 200km kami berjalan masuk menuju lokasi, beberapa kawan kami tidak siap dengan kondisi panas terik gersang dan berpasir tandus disana, ditambah waktu itu menunjukkan pukul 12.00 kurang lebih.... teriknya panas matahari menyengat tembus diantara pori-pori jaketku dan aku lupa samasekali untuk membawa bekal air minum.... hekksss ...... hausss.....panasss!!

Dilokasi penambangan aku berdiskusi lama dengan seorang ibu, beliau mengajak anaknya yang masih berumur sekitar delapan tahun untuk ikut menyedot pasir lokasi penambangan, ada juga suaminya ikut turut serta dalam kegiatan penambangan, dari perbincangan kami ternyata beliau mengajak semua anak-anaknya, tidak jauh dari lokasi kami berbincang-bincang ada berdiri satu dua pondok kayu beratap daun rumbia, dipondok itu cerita ibu tadi ada anaknya yang masih berumur 5 atau 6 bulan ditemani kakaknya yang tertua serta satu orang anaknya adik dari anak yang dia bawa ditempat penambangan. Aku terkesima ketika beliau mengatakan hal itu....

Dear My diary, rupanya beliau lebih memilih untuk mengajak anak-anaknya menambang emas ketimbang bersekolah, tidak ada biaya untuk menyekolahkan mereka, tidak ada yang menjaga mereka di kampung karena semua pergi kelokasi, dan kedua orangtua mereka menambang pasir jadi harus ada yang menjaga si kecil dan kakak sikecil yang juga masih belia.

Dear My diary, Ibu tadi bilang kalau untuk makan hari-hari pas-pasan sekali bahkan terkadang mereka harus ngutang, lalu bekerja siang malam untuk membayar tagihan utang, sementara pasir sirkon semakin hari semakin habis, semua sudut sudah dibongkar habis, tidak ada satupun yang terlewatkan. Tahun 2002 menurut beliau dua hari masih bisa dapat satu karung pasir sirkon, sekarang empat hari lebih baru bisa mengumpulkan pasir sirkon. Menyedihkan.

Diperbincangan-perbincanganku dengan beberapa orang, aku mencatat satu pernyataan salah seorang ibu rumah tangga yang sekarang beralih profesi membuka warung kecil di dalam desa tersebut. Dia bilang jera dan tidak akan pernah mau lagi bekerja “mamuya”. Kulit terkelupas, rambut merah karena terpanggang matahari... tidak sanggup lagi katanya.... biar saja aku mewarung karena penghasilannya setiap hari pasti ada, biarpun sedikit-sedikit.

Sore hari di hari pertama aku menginap dikampung, setelah seharian menjalankan tugas dan amanat yang diemban, aku membayangkan segarnya berenang di sungai yang kebetulan tidak berada jauh dari tempat kami menginap, tetapi Ibu dirumah tempat aku menginap mengingatkan agar aku lebih baik mengurungkan niat untuk mandi di sungai, beliau bilang nanti kalian gatal-gatal, airnya memang terlihat keruh. Rupanya muara sungai tepat berbatasan dengan aliran sungai pembuangan “memuya”, selain itu sungai sudah dikepung sawit, jadi lengkaplah sudah penderitaan sungai itu... bahkan ikanpun enggan untuk hidup disana.



Bersambung.....


Anse S. Erlynova

Tidak ada komentar: