26 September 2007

PEMBAHARUAN AGRARIA ALA PEMERINTAHAN SBY , UNTUK SIAPA ?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam salah satu naskah pidatonya mengatakan “ Pembangunan pertanian ala revolusi hijau tidak lagi feasible untuk dilakukan. Pembangunan pertanian haruslah kita rumuskan dan implementasikan sesuai dengan definisi pembangunan pertanian berkelanjutan yang telah saya kemukakan…… elemen-elemennya: Pertama, .... Kedua, pelaksanaan reformasi agraria, sehingga dapat menciptakan struktur pengusahaan atau penguasaan tanah pertanian yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan serta mengurangi kesenjangan ekonomi desa-kota” yang disampaikan pada upacara Pemberian Gelar Doktor Kehormatan, Universitas Andalas, Padang, 21 September 2006, menyebutkan (6) enam alasan utama perlunya pembangunan pertanian berkelanjutan, diantaranya : soal kemiskinan, pengangguran dan hutang negara. Petani dan Masyarakat Adat adalah kelompok utama yang mengalami langsung terkait dengan alasan-alasan utama tersebut.

Joyo Winoto, pejabat Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) menyampaikan hal yang hampir sama persis menyangkut soal kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan. Pada peringatan hari Tani (24 September 2006), beliau menjelaskan akar permasalahan dari ketimpangan struktur penguasaan tanah dan pentingnya pelaksanaan reforma agraria untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan menegaskan prinsip-prinsip dalam penataan dan pelaksanaan pembaruan agraria atau reforma agraria, yang diperoleh dari sumber Pidato Kepala BPN, Joyo Winoto dalam Pembukaan Lokakarya Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional, Bappenas, di Jakarta, 6 Nopember 2006.yaitu :
1. Berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan untuk melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat.
2. Berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan bagi kehidupan rakyat, dalam kaitannya dengan Pemanfaatan, Penggunaan, Penguasaan dan Pemilikan Tanah (P4T).
3. Berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan system kemasyarkatan, kehidupan bangsa dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah.
4. Berkontribusi secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan diseluruh tanah air dan menata system pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Joyo Winoto selaku pemegang mandat dari presiden selaku Penanggungjawab Program Pembaruan Agraria Nasional Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Yang mencakup pelaksanaan Landreform dan Acess Reform. “Landreform yang kami cetuskan ini membuka akses kepada masyarakat pada sumber-sumber ekonomi tanah dalam satu paket” TEMPO (Edisi, 4-10 Desember 2006). Akses reform yang dimaksud berhubungan dengan program penunjangan untuk mendapatkan akses financial, pasar, hingga teknologi pertanian.

Program ini akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2007 hingga 2014. Tanah seluas 8,15 juta hektar akan dibagikan ke masyarakat miskin dengan kriteria tertentu dan pengusaha dengan ketentuan terbatas. Diperkirakan 6 juta hektar lahan akan dibagikan untuk masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar sisanya diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif dengan tetap melibatkan petani perkebunan. Negara dapat mencabut kembali pemberian tanah tersebut jika tidak dimanfaatkan untuk usaha produktif. Tanah yang akan dibagikan berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Program Landreform ini tidak diikuti dengan kejelasan mengenai subyek dan lokasi mana yang dimaksudkan, Tim Persiapan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di jakarta sendiri menyatakan dalam salah satu sumber bahwa belum bisa menyebutkan lokasi dan subyeknya dan saat ini masih sedang mendata dan mempelajari konsep, dilain pihak BPN sudah menyebutkan angka subyek penerima manfaat, luas tanah yang akan diredistribusi dan status obyek landreform. Kebiasaan buruk pemerintah kita yang mengeluarkan program tanpa suatu analisis yang mendalam dan tanpa melalui kajian yang komprehensif.

Kondisi yang sangat jauh berbeda dengan Negara Jepang, Korea atau Cina…. yang mengeluarkan dana yang sangat banyak hanya untuk melakukan sebuah riset dan kajian. Apa yang terjadi di Indonesia? bagaimana bisa maju apabila kondisi seperti ini kerap kali terjadi. Sehingga wajar saja dipertanyakan betulkah program yang akan dilaksanakan sejak tahun 2007 ini sampai 2014 betul-betul menjawab permasalah kemiskinan di negara ini? Atau justru menjadi sumber konflik baru?

Yang lebih mengherankan, program yang masih belum jelas ini bahkan sudah di “sambar” oleh Departemen Pertanian (2006) dengan mengeluarkan dokumen Rancangan Umum Perluasan Lahan Pertanian yang memuat Model Pendistribusian tanah, yakni :
1. Pola Real Estate, Pemerintah menjual tanah ke petani melalui pengembang, dan petani mengagunkan tanah dengan pembiayan dari bank.
2. Pola Inti Plasma, Pemerintah menyerahkan lahan kepada perusahaan inti dan mengkonversi lahan kepada petani plasma yang akan menjual hasil usahanya kepada perusahaan inti, pembayaran lahan disedikaan bank dengan cara cicil oleh perusahaan inti
3. Pola Koperasi, Pemerintah menyerahkan lahan kepada Koperasi dan membagikan lahan kepada anggota yang akan menuaikan hasil usaha taninya kepada Koperasi. Pembayaran lahan disediakan bank dan dicicil oleh Koperasi
4. Pola Swasta Murni, Pemerintah menyerahkan lahan langsung kepada petani individu. Untuk urusan produksi, pemasaran dan permodalan, diusahakan secara individu.
5. Pola Cooperative Farming, Pemerintah menyerahkan lahan kepada individu dan mengkonsolidasikan berbagai kegiatan melalui manajemen usaha kelompok yang dipimpin manajer.
6. Pola Pemgembangan Ternak, Pemerintah menyerahkan lahan kepada individu peternak. Untuk urusan produksi, Pemasaran dan permodalan, diusahakan secara individu.

Apakah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini hanya retorika dan agenda politik kekuasaan guna meraih simpati rakyat untuk PEMILU 2009 ini, atau adalah agenda tersembunyi pemodal melalui tangan Bank Dunia dan Ausaid yang menyediakan bantuan keuangan melalui skema utang luar negeri, karena harus diingat pemilik pemodal juga akan mendapatkan 25% atau 2,15 juta hektar tanah dari 8,15 juta hektar yang akan diredistribusikan. Mungkin saja segala sesuatunya kemudian diarahkan sesuai dengna kepentingan pasar saja.

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dapat saja menjadi sumber ancaman bagi kepemilikan tanah secara komunal dan tanah-tanah yang diakui kepemilikannya secara adat, bisa jadi atas nama pemerataan, mengurangi kemiskinan maka menghapuskan tanah-tanah yang diakui kepemilikannya secara komunal dan tanah-tanah yang diakui kepemilikannya secara adat tersebut.

Berdasarkan pengalaman dinegara lain, setidaknya ada lima prasyarat untuk melaksakan Reformasi Agraria, yakni : (1) adanya kemauan politik dari Pemerintah (termasuk dukungan keuangan), (2) adanya data yang akurat dan teliti, (3) adanya organisasi rakyat yang kuat, (4) adanya dukungan dan kesadaran masyrakat luas tentang pentingya reformasi agraria dan (5) adanya dukungan dari alat-alat keamanan dan ketahanan negara, seperti TNI dan POLRI

Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan sumber-sumber agraria

Sadarkah atau tidak kita, bahwa persoalan tanah atau lahan adalah isu dunia. Sudah ada sejak jaman kolonialisme, PD I dan PD II hingga jaman IMF, Bank Dunia sampai investor, sebenarnya tidak jauh-jauh dari persoalan penguasaan tanah/lahan, bahkan dalam produk kebijakan yang dihasilkan oleh negara-pun banyak terkait soal penguasaan tanah (dan termasuk apa saja yang ada di dalam maupun diatasnya tentunya). Dan harus juga dilihat bahwa negara adalah alat pasar untuk mendapatkan keadilan sosial. Karena itu kepentingan pasar dapat mengalahkan kepentingan negara, lebih-lebih menyangkut tanah.

Dalam istilah Dunia pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga, menurut Emil Kleden SEKJEN AMAN dalam salah satu tulisannya, mengatakan Dunia Pertama memandang tanah diseluruh dunia adalah milik warga dunia. Dunia Kedua memandang tanah adalah milik negara dan karena itu semua pengelolan tanah diatur oleh negara, Dunia ketiga umumnya dipandang dan diperlakukan sebagai ”cadangan tanah” bagi dunia pertama dan sampai tingkat tertentu – juga bagi Dunia kedua.

Berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden SBY yang dikutip dari naskah pidatonya dan pernyataan Joyo Winoto selaku penganggungjawab Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), yang antara lain menyatakan tentang terjadinya kemiskinan adalah akibat adanya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan pentingnya reforma agraria untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan, sekali lagi menurut Emil Kleden SEKJEN AMAN dalam salah satu tulisannya mengatakan dalam salah satu studi yang dilakukan oleh Amartya Sen menunjukkan bahwa kelaparan dan kemiskian yang terjadi didunia bukanlah terutama disebabkan oleh kurangnya pangan dan sumberdaya alam melainkan kurangnya demokrasi, yang menyebabkan kurang diakui atau bahkan tidak diakuinya hak rakyat, baik sipil politik ,maupun hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pertanyaan yang harus kita kaji ulang bahkan seluruh rakyat Indonesia yang tak bertanah adalah apa yang mau dilakukan? Prinsip apa, strategi apa dan metode apa yang hendak dipilih untuk secara konsisten dilaksanakan dalam upaya merebut keadilan dalam distribusi agraria? Melihat aksi-aksi masyarakat tertindas dalam perlawanan penggusuran, pengambil-alihan tanah dan kebun mereka, dan pemindahan paksa oleh pemerintah dan investor? Pertanyaan lainnya akankah keadilan reformasi agraria ini akan menjadi keadilan juga bagi masyarakat yang sudah memiliki tanah adat secara komunal seperti yang telah dipaparkan diatas, kemudian karena ketidak jelasan legalitas tanahnya dirampas dan diambil alih untuk selanjutnya dibagi-bagi ? Pola transmigrasi adalah salah satu contoh dari ketidakadilan pembagian lahan oleh pemerintah antara para transmigran terhadap penduduk lokal (sekali lagi lahan-lahan yang dimiliki secara komunal, yang selama ini menjadi salah satu sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik sandang, hewani, buah-buahan, papan dan obat-obatan), yang justru harus rela diambil tanahnya untuk dibagi-bagikan kepada para transmigran bahkan ditambah dengan berbagai tunjangan dan fasilitas, menumbuhkan perbedaan perlakuan atas sesama anak negeri yang sebenarnya sama-sama dalam kondisi ”miskin” juga.

Di kalangan aktivis dan organisasi pendukung reforma agraria yang sudah bekerja selama 2 tahun ini dalam gerakan pembaharuan agraria, ada dua premis yang menjadi landasan gerakan rakyat untuk keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Pertama keadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria adalah prasyarat utama untuk mencapai kesejahteraan rakyat banyak, kedua Pengakuan penghormatan dan perlindungan terhadap hak rakyat adalah prasyarat utama menuju tercapainya keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria.

Studi-studi tentang reforma agraria menunjukkan bahwa upaya untuk menjawab premis tersebut melalui kebijakan dan keputusan politik tidaklah mudah. Karena pemerintah dan rakyat pada umumnya menghadapi dilemma yang sulit dipecahkan. Noer Fauzi dalam makalahnya yang dipresentasikan pada Kongres Kehutanan Indonesia yang ketiga (KKI III), Oktober 2001, yang dikutip dalam salah salah satu tulisan Emil Kleden SEKJEN AMAN, menyimpulkan kesulitan ini dalam narasinya sebagai, ” Disinilah letak kesulitan pokoknya, yakni di satu pihak, pemerintah yang baik senantiasa bekerja dalam koridor hukum yang ada; dan dipihak lain, hukum yang ada merupakan sumber ketidakadilan”.

Situasi obyektif saat ini, telah terjadinya ketimpangan penguasaan tanah, meningkatnya angka kemiskinan, masyarakat yang kehilangan lahan dan akses atas kekayaan alam serta masifnya konflik pertanahan maka Reformasi Agraria memang kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan, tetapi bagaimanakah kesiapannya? Akankah PPAN ala Pemerintahan SBY ini sesuatu yang terselubung yang kita tidak tahu apa wujud aslinya?

Dari lima prasyarat untuk melaksanakan Reformasi Agraria, adanya kemauan politik dari Pemerintah, Organisasi rayat yang kuat dan dukungan kesadaran masyarakat luas tentang pentingya reformasi agraria, dapat diambil dari pembelajaran Pembangunan Model Kerala di India, walaupun gerakan ini murni asalnya didorong oleh kaum petani yang tidak memiliki lahan. Merujuk pada studi yang dilakukan Anand Mathew, salah satunya kunci dari model Kerala ini yakni Lan reform. Gagasan Land Reform yang sudah menguat pasca kemerdekaan India pada 1047, menuntut land reform melibatkan partsipasi massa yang luas, dan menjadi gerakan yang sanggup menyatukan seluruh kepentingan masyarakat akar rumput, kemudian melahirkan Kebijakan Agraria. Hasilnya saat ini Kerala tercatat sebagai salah satu sentra pangan terbesar india tidak hanya swasembada, tetapi juga mampu menimbun stok beras diatas 40 juta ton. India kini adalah salah satu produsen dan eksportir beras terbesar dunia bersama Thailand, Cina dan Vietnam.

Kembali pada Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), melihat pada lima prasyarat untuk melaksanakan reformasi agraria, kita dibuat ragu apakah pemerintah akan melaksanakannya secara konsisten dan berpihak kepada rakyat. Lihat saja apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah diawal tahun 2007 ini. Pemerintah lebih getol mengarahkan kebijakan pembangunan yang pro-investor, memfasilitasi keluarnya hak-hak dan ijin baru pengusahaan dan pengelolaan tanah dan kekayan alam lainnya, asset produktif makin terkonsentrasi dan terakumulasi kepada perusahaan yang juga mendominasi pada sektor produksi dan perdagangan. Konflik-konflik pertanahan baru terus bermunculan, bahkan disertai praktek kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan. Aspek lainnya adalah dana. Pemerintah tidak serius mendukung pendanaan untuk konsolidasi data, melakukan riset, konsultasi dan penyadaran publik, menggarap perlunya reformasi agraria.

Data penguasaan konsesi lahan di Indonesia misalnya dapat membuktikan tidak adanya perubahan kearah tersebut. Data yang dikeluarkan oleh Jatam pada tahun 2005, misalnya menunjukkan bahwa 35% dari 1,9 juta km2 atau sekitar 67 juta ha tanah telah dikuasakan kepada konsesi pertambangan. HPH dan HTI menguasai 44 juta ha lahan sementara HGU sekitar 15 juta ha. Sementara alokasi untuk proyek-proyek lain seperti pendidikan dan kesehatan, pertanian dan pemukiman sekitar 70 juta ha. Di mana 200 juta rakyat harus mencari sumber hidup? Dengan luas daratan Indonesia yang 190 juta ha, dan jumlah penduduk yang 220 juta jiwa, maka lebih dari 200 juta manusia harus bertahan hidup diatas lahan yang kurang dari 40 juta ha.

Di Kalimantan Tengah, dalam RTRWP Kalteng Perda No.8 Tahun 2003, hanya ada dua (2) peruntukan lahan yang memungkinkan dikelola oleh ”rakyat”, yaitu Kawasan Pengembangan Produksi [KPP] dan Kawasan Pemukiman dan Peruntukkan Lainnya [KPPL]. KPP Kalteng diperuntukkan seluas 2.789.108,09 ha dan KPPL seluas 1.920.054,79 ha. Atau secara keseluruhan luasnya kalau dijumlahkan adalah 4.709.162,88 ha KPP dan KPPL tersebut ternyata telah didistribusikan untuk Perkebunan Besar [sawit] yang luasnya adalah sekitar 2,5 juta hektar, jadi sisanya hanya tinggal 2,2 juta ha yang akan ”diperebutkan” oleh 1,9 juta penduduk Kalteng.

Yang lebih ironis lagi, dengan tingkat kepadatan penduduk Kalteng yang hanya sekitar 15 jiwa per km2, sebagian besar masyarakat terutama masyarakat adatnya masih menderita kemiskinan, seperti yang diungkapkan sendiri oleh Gubernur Kalteng, A Teras Narang SH dalam Kalteng Pos jumat 19 januari 2007 menulis ada 1.005 Desa tertinggal dari total jumlah desa di kalteng 1.539 desa, padahal sebagian besar penduduk tinggal di desa, yang mengindikasikan kesejahteraan masyarakat masih rendah, dikatakan jumlah KK miskin mencapai 197.467 KK dari 502.767 KK penduduk Kalteng.

Masih dalam tulisan yang sama diungkapkan oleh Gubernur Kalteng, A Teras Narang SH dalam Kalteng Pos jumat 19 januari 2007, ”masih banyaknya jumlah desa tertinggal disebabkan karena kurang berkembangnya usaha ekonomi produktif masyarakat miskin dalam memanfaatkan sumber daya pembangunan seperti permodalan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk peningkatan pendapatan dan pengembagan usaha ....dst .....disamping itu, potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada belum dikelola secara maksimal sehingga mempersulit akses perekonomian masyarakat” , mudah-mudahan kalau tidak salah menurut penulis adalah sehingga Pemerintah Daerah begitu getolnya menarik investor dan kemudian membagi-bagikan lahan untuk di ”kelola” oleh para investor, yang lebih menarik menurut analisa penulis, Program PPAN ternyata masih kontradiktif dengan kebijakan ditingkat daerah. Penuntasan Kemiskinan ala Pemerintahan SBY dengan Reformasi Agraria-nya, di tingkat daerah sepertinya ”tidak nyambung”, Pemerintah Daerah masih melihat bahwa Investorlah yang dapat membantu menuntaskan kemiskinan masyarakat yang sampai saat ini menurut kalangan penggiat lingkungan dan aktivis sosial revenue ini masih terus diperdebatkan.

Apa yang harus dilakukan oleh Masyarakat Adat?

Sementara konflik tanah di Kalimantan Tengah terus saja terjadi dimana-mana, tak kunjung usai. Belajar dari Pembangunan Model Kerala India, menyikapi Program PPAN ini, sepertinya pengorganisasian yang konsisten dan bertahap adalah kunci sukses yang mendorong upaya radikalisasi masyarakat untuk mengangkat kepentingan mereka menjadi prioritas utama dimata negara, negara harus dikembalikan kepada rakyat tidak saja hanya diberikan pada saat pelaksanaan PEMILU saja (yang lebih tepatnya dimanfaatkan untuk kepentingan para politisi dan kroni-kroninya, buktinya dengan PP 37/2006 siapa yang mestinya mendapatkan kesejahteraan itu).

Pada saat massa rakyat yang mestinya mengendalikan negara, hanya dengan cara demikian keadilan sosial bukanlah sebuah utopia melainkan cita-cita realistis rakyat. Apa yang terjadi melalui model pembelajaran Kerala India, adalah membongkar tatanan berpikir mengenai pembangunan bahwa redistribusi kemakmuran hanya mungkin dicapai melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Karena terminologi ”pertumbuhan ekonomi” sendiri telah mengalami bias Neoliberal, yang hanya menekankan faktor-faktor ekonomi modern berbasis industri dan pasar uang, sementara distribusi kemakmuran adalah persoalan yang harus dijawab dengan pemenuhan kebutuhan riil rakyat menurut kepentingan mereka sendiri. Itu bukan kepentingan yang dicitrakan dari pusat-pusat keuangan raksasa di Barat atau para pemodal dan Investor, sejak dekade 80 an HPH sudah masuk ke Bumi Kalimantan Tengah kemudian Tambang kemudian Perkebunan Sawit, mengapa 65 % kita masih miskin? Sudah saatnya Masyarakat Adat membuat sejarah kepemilikan lahan.

Mudah-mudahan sebait lagu berikut bisa menjadi Inspirasi:
Ayu keton kulangkuh handiai, ela laya santar menter melai
Wayah tuh itah jadi ndai sampai, badayung uyah batawah belai
Metehkuh ketun je ije-ije, ela laya baya hatanture
Mamut menteng itah harake awi tempun petak jadi manana sare
Are panatau dan jawet ramu, amas intan tuntang pulau kayu
Kalah itah je tempun lewu, panatau panuah uras uluh tempu...

Sumber GAUNG AMAN Edisi No.XXIV/Desember 2006 dan diolah dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar: